12/01/2015 - 01/01/2016 - Gudang Ilmu

Thursday, December 10, 2015

Biografi Ibnu Hajar Al-Asqolani


WUDLU’NYA ringkas tapi tepat’ bila berniat (dalam ibadah) cepat jadi. Bahakn dia mencela orang-orang yang dam niat waswas dan lama. Padahal ia seorang faqih (ahli fikih) yang menjadi Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) Mazhab Syafi’I selama kiraj-kira 20 tahun dan di bidang hadits bergelar Amirul Mukminin.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, begitulah ia dikenal orang. Nama lengkapnya Abul Fadl Ahmad bin Ali bin Muhammad al’Asqalani al-Misri al-Qahiri. Nenek moyangnya berasal dari Asqalan, kota kuno yag terletak di pantai Suria dan palestina. Oleh karena itu ia bernisbah al-‘Asqalani. Salah seorang kakeknya berjuluk Ibnu Hajar. Kemudian julukan itu merembet kepadanya. Kikenallah ia dengan julukan Ibnu Hajar.

Di lahirkan di pasangan Nuruddin Ali dan Nijar Bintia;-Fakhr Abi Bakar pada 22 Sya’ban 773 H. Sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Ayahnya yang dikenal alim, hafal al-Qur’an lengkap dengan Qira’ah Sa’ahnya dan hafal al-Hawi as-Shaghir meninggal dunia ketika Ibnu hajar berumur 4 tahun (23 Rajab 777). Sedang sang ibu meninggal lebih dulu.

Untung saja Ibnu hajar dari keluarga kaya. Ayahnya adalah seorang pedagang di Mishr al-kharrubi, desa kelahiran Ibnu hajar. Si ibi berasal dari keluarga saudagar kaya. Dari harta yang diwariskan orang tuanya ini, Ibnu hajar membiayai hidupnya. Kekayaan yang melimpah itu dimanfaatkan untuk bekal menuntut ilmu di kebelakang hari.

Setelah kematian orang tuanya, Ibnu hajar di asuh oleh zakiyuddin Abu Bakar al-Kharubi, saudagar besar yang menerima wasiat dari ayah Ibnu hajar. Al-Kharrubi memperhatikan Ibnu hajar dengan sungguh-sungguh.

Setelah Ibnu Hajar sempurna berumur lima tahun, al-Kharubi memondokkannya ke Maktab. Ibnu Hajar hafal keseluruhan al-Qu’an ketika ia berusia 9 tahun di Maktab itu. Hal itu ia lakukan di bawah arahan gurunya Syadruddin Muhammad bin Muhammad as-Safthi, seorang alim ahli qira’ah.

Ibnu Hajar menemani al-Kharubi berhaji pada tahun 784 (umur 11 tahun). Al-Kharrubi, sang bapak asuh yang hafal al-Qur’an dan punya nama di kalangan penguasa ini menyediakan suasana yang tepat bagi Ibnu Hajar. Di Mekkah Ibnu Hajar yang masih ingusan itu di pertemukan dengan ulama Mekkah. Di antaranya adalah Syekh Afifuddin Abdullah an-Nisywari (705-795). Di depannya, Ibnu Hajar mendengarkan hadits Shahih Bukhari (tahun 785). An-Nisywari guru pertama Ibnu Hajar dalam ilmu hadits. Begitulah permulaan perjalanan ilmiah Ibnu Hajar. Ketika ia berumur 12 tahun.

Kemudian Ibnu Hajar da al-Kharrubi kembali ke Mesir pad tahun 786. Ibnu Hajar mulai sibuk dengan ilmu. Ia tekun menghafal beberapa kitab. Kecerdasan dan daya ingatnya yang kuat ikut membantnya. Umdah al-Ahkam, al-Hawi as-Shaghir, Mukhtashar Ibn al-Hajib, Milhah al-I’rab, Minhaj al-Wushul, Alfiyah al-Hadits, Alfiyah Ibnu Malik dan ati-Tanbih serta kitab lain dapat ia hafal plus pengertiaannya.

Ketika Ibnu Hajar berumur 14 tahun al-kharrubi wafat (787 H). selama tiga tahun ketekunan Ibnu Hajar agak mengendur dengan wafatnya al-Kharrubi. Baru pada umur 17 tahun Ibnu Hajar kembali memantapkan niatnya. Deseraplah ilmu-ilmu daru para ulama kala itu. Ia juga melakukan perjalanan studi ke berbagai Negara. Di antaranya ke Syam, Hijaz, Yaman, Palestina disamping di dalam Mesir sendiri. Dama perjalanan itu ia berguru kepada para ulama yang ia jumpai.

Kesungguhan Ibnu Hajar dalam menimba ilmu bisa dibaca dari banyaknya guru yang ia punya. Setelah penelitian mendetail yang dilakukan al-Sakhawi, murid Ibnu Hajar, jumlah guru Ibnu Hajar sebanyak 628 orang, lebih banyak dari yang disebut Ibnu Hajar sendiri dalam al-ajma’ al-Mu’assas fi al-Mu’jam al-Mufahras (450 orang). 55 di antaranya wanita. Kebanyakan gurunya Ibnu Hajar memberi rekomendasi padanya untuk mebuka pengajaran.

Beberapa guru terpenting Ibnu Hajar:

1.at-Tannykhi (709-800), gurunya dalam qira’ah.

2.Umar al Bulqini (724-805) di bidang fikih.

3.Ibnu jama’ah (749-819) dalam ushul fikih.

4.al-Firuzabadi (729-817) dalam bahasa, nahwu dan sastra.

5.al-Hafish al-Iraqi (725-804), guru utamanya dalam hadits. Sepuluh tahun Ibnu Hajar belajar kepadanya.

Guru bagi Ibnu Hajar yang bermulut kecil ini begitu berharga. Ibnu Hajar hafal dan mengerti sejarah hidup guru-gurunya itu. Ia menghimpunnya dalam dua kitabnya al-Majma’al-Muassas fi al-Ahkam al-Mufahras dan Tajrid Asani al-Kutub al-Masyhurah. Kedua kitab ini masih dalam bentukmanuskrip.

Kecerdasan yang tertandingi disertai kesungguhan tak kenal lelah membuat Ibnu Hajar unggul menjadi bintang dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya Hadits. Maka masyhurlah Ibnu Hajar sebagai bahasawan, sastrawan, penyair, sejarawan, mufassir, pakr hukum dan ahli hadits.

Dalam hadits, Ibnu Hajar yang walau sudah tua bergigi lengkap dan putih bersih adalah laut yang tak betepi. Ibnu Hajar sangat menguasai bidang yang satu ini. As-Suyuthi menyebutnya dengan bebagai gelar ahli hadits yang menakjubkan. Salah satunya ialah Dzahabi Hadza al-Ashr (Imam Dzahabinya masa itu). Disamping banyak berguru dan usaha lain, Ibnu Hajar juga meminum air Zamzam untuk meraih tingkatan yang di peroleh Imam adz-Dzahabi. Barakah air Zamzam juga ikut mewujudkan cita-citanya.

Ibnu Hajar bercerita mengenai hal itu; “aku meminum air Zamzam dengan tiga tujuan. Salah satunya dengan niatan agar aku meraih martabat Imam Hafizh adz-Dzahabi.” Kejadian itu terjadi ketika Ibnu Hajar berhaji di tahun 800/805 H.

Dua puluh tahun kemudian Ibnu Hajar berhaji lagi. “di hatiku timbul keinginan meminta kepada Allah lebih dari itu (martabat Imam al-Hafizh adz-Dzahabi). Maka aku memohon derajat yang lebih tinggi. Mudah-mudahan Allah mengabulkan,” ucap Ibnu Hajar. As-Sakhawi, murid Ibnu Hajar, berkata: “ Allah telah menjadikan harapan Ibnu Hajar sebuah kenyataan. Banyak orang yang menyaksikan hal itu.”

Dikala Zainuddin al-Iraqi, guru Ibnu Hajar dan ahli hadits, menjelang wafat, seorang bertanya; “Siapakah penggantimu ?.

“Ibnu Hajar. Kemudian anakku, Abu Zar’ah. Kemudian al-Haistami,” jawab al-Iraqi. Al-Iraqi wafat ketika Ibnu Hajar berumur 33 tahun (806 H).

Berbagai kesibukan menyertai kehidupan Ibnu Hajar. Beberapa pekerjaan penting, jabatan agung dan tugas mulia ia embank. Waktunya disibukkan dengan mengajar, memberi fatwa, mengarang kitab dan mengimla hadits di beberapan tempat pengajian. Ia juga menjabat sebagai direktur di bebagai madrasah.

Ibnu Hajar mengajar tafsir di madrasah al-Husainiyah dan al-Qubbah al-Mansuriyah. Mengajar hadits di asy-Syaikhuniyah, jami’ Ibnu Thulun dan beberapa tempat lain. Fikih di ajarkannya di al-kharrubiyah, as-Shalahiyah dan Akademi pendidikan lain. Ibnu Hajar juga menjadi khatib di masjid Jai’ al-Azhar dan masjid jami’ Amar bin Ash.

Selama 41 tahun Ibnu Hajar yang bekulit putih ini memberi fatwa di Dar al-Adl. Jabatan mufti ini di melai pada tahun 811 sampai ia meninggal (852). Farwa-fatwanya ringkas dan menyasar pada pokok permasalahan. Biasanya, dalam satu hari ia menulis fatwa lebih dari 30 buah. Ibnu Hajar adalah ulama terbaik dimasanya dalam mengeluarkan fatwa berdasarkan pada dalil-dalil mu’tabarah.

Mungkin ini adalah realisasi dar ketiga niatnya ketika meminum air Zamzam. Salah satunya, seperti yang di ucapkan Ibnu Hajar sendiri, “semoga Allah memberiku kemudahan dalam menulis fatwa-fatwa seperti guruku, as-Siraj al-Bulqini. Biasanya, ia menulis fatwa dari pucuk pena tanpa merujuk pada kitab-kitab. Maka Allah memberiku kemudahan untuk itu.”

Pada 27 Muharram 827 H, Ibnu Hajar yang berjenggotputih dan tebal ini ditunjuk oleh Malik al-Asyraf Barisbay sebagai Qodhi al-Qudhah (Hakim Agung) Mazhab Syafi’I Ibnu Hajar di Mesir. Ketika itulah keadilah di tegakkan dan kebenaran mendapatkan perlakuan yang sebenarnya dari Ibnu Hajar al-Asqalani. Kerap kali keputusannya menyakiti dan merugikan penguasa. Hal ini menunjukkah betapa teguhnya ia memegang kebenaran.

Ibnu Hajar tidak berambisi untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Qodhi al-Qudhah walaupun jabatan itu sangat cocok di pegangnya. Berulang kali ia didepak dari jabatan setrategis itu. Tapi kemudian Ibnu Hajar di angkat lagi. Hal ini terjadi enam kali. Sehingga pada akhir Jumadas Tsaniyah 852 H, ia mengundurkan diri setelah sekitar 20 tahun dia melaksanakan tugas itu dengan baik.

Walau ilmu menggunung dan berbagai jabatan penting dipikul, namun Ibnu Hajar tetap tawadhu’. Al-Biqa’I (809-885), salah seorang murid Ibnu Hajar berkata: “setiap tahun tawadlu’nya semakin bertambah.” Termasuk contoh ketawadlu’annya yang dalam adalah rasa hormatnya pada ahl al-ilm dan orang-orang mulia. Ketika Aisyah binti Ibrahim as-Syara’ihi, salah seorang guru Ibnu Hajar, datang kepadanya Ibnu Hajar memuliakannya. Ia mempersilahkan guru wanitanya itu duduk ditikar yang biasa dibuatnya shalat.

Ibnu Hajar yang suka tebu ini dikenal sebagai figure yang wara’. Ia sangata hati-hati terutama dalam soal makan. Ibnu Hajar tidak pernah memakan hadiah yang dikirim kepadanya. Bila Ibnu Hajar terpaksa datang ke sebuah walimah atau pertemuan maka ia pura-pura makan. Terkadang ia memberikannya kepada orang yang disampingnya makanan yang di suguhkan kepadanya. Sehingga orang yang mempunyai hajat menyangkanya memakan hidangan itu. Hal itu ia lakukan untuk membahagiakan tuan rumah. Padahal tak satupun makanan yang masuk ke perutnya.

Dalam ibadah, Ibnu Hajar patut ditiru. Ia banyak beribadah dimalam hari. Jum’ar dan jamaah tidak ditinggalka. Ia juga rutin melakukan puasa nabi dawud. Al-Qur’an adalah teman setianya di malam hari dan teman duduknya di kala sepi. Ia membacanya dengan mata berlinang. Ibnu Hajarselalu berusaha waktunya terisi dengan ibadah . mulutnya banyak mengucapkan dzikir, tasbih dan istighfar.

Ketika duduk bersama sekelompok orang , setelah isya’ atau di waktu lain, alat tasbih selalu di genggaman Ibnu Hajar. Ia membunyikannya di balik lengan bajunya. Ibnu Hajar terus memutar alat bundar itu sedang mulutnya membaca tasbih (Subhanallah). Terkadang tasbih itu terjatuh dari lengan bajunya. Secepatnya Ibnu Hajar mengmbil tasbih itu. Ini menunjukkah bahwa ia tidak ingin orang lain mengtahuinya.

Obyektifitas Ibnu Hajar dalam menilai seorang ulama dan karyanya sangat tinggi. Ibnu Hajar senang dan menghormati Ibnu Taimiyah (w.728). hal ini menyebabkan banyak kalangan ulama mazhab syafi’I Ibnu Hajar memangkas haknya, seperti yang mereka lakukan kepada Ibnu Nashiruddin.

Tetapi bukan berarti Ibnu Hajar selalu sejalan dengan Ibnu Taimiyah dalam setiap terminology yang ia ungkapkan. Dalam hal ini Ibnu Hajar berkata; “seharusnya bagi orang yang berilmu dan memiliki akal memikirkan perkataan seseorang dari karya-karyanya yang di kenal. Atau dari mulut-mulut ahl an-Naql (pembawa berita) yang bisa dipercaya. Kemudian dari hasil pemikiran itu, ia menetapkan apa yang menyeleweng. Maka hal itu dijadikan perhatian dan diwaspadai dengan tujuan memberi nasehat. Dan tetap memuji keutamaan-keutamaan orang itu tentang pendapatnya yang benar seperti ulama yang lain.”

Pada malam sabtu 28 Dzul Hijjah 852 H, Ibnu Hajar menghadap kehadirat tuhan. Kairo menjadi gempar. Toko-toko tutup. Pasar libur. Jenazahnya diantar lautan manusia. Sultan dan para pembesar ikut memanggul keranda Ibnu Hajar. Umat Islam berdukal. Ahl ad-dzimmah ikut berlinang air mata. Di seantero dunia diadakan shalat ghaib. Jasadnya dimakamkan di kompleks pemakaman Bani al-Kharrubi, Qarafah, Kairo.

Ibnu Hajar meninggalkan buah karya yang tidak sedikit. Jumlahnya mencapai 289 judul. Karya-karya itu mendapat sambutan yang hangat dari umat Islam. Sampai sekarang karya Ibnu Hajar masih aktif dikaji. Di antara karyanya Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Lisan al-Mizan, Nukhbah al-Fikar fi Musthalah ahl al-Atsar dan Bulugh al-Maram.

(Ditulis kembali dari buku Guruku Di Pesantren karya LPSI Pondok Pesantren Sidogiri yng diterbitkan tahun 1420 H)

Hantu, Pocong dan Drakula


Pertanyaan:

Prio Sudibyo

Hantu pocong, mak lamper, sundel bolong, Nyiblorong tu benar-benar ada ngga ya....... ko' kayak nya di Cina ga' ada adanya cuman Vampire di Amerika ga' ada, adanya cuman Drakula  ?

JAWABAN :
Mbah Jenggot
Masih banyak yang beranggapan bila orang matinya tidak wajar seperti karena gantung diri, dianiaya atau tabrakan maka arwahnya akan gentayangan selama 40 hari, bahkan ada yang  meminta sesuatu agar arwahnya bisa tenang, kalau tidak dipenuhi ...dia mengancam akan muncul lagi dan mengganggu keluarganya.
Benarkah anggapan yang demikian ini ? Dalam catatan ini kita akan mencoba menelusuri tentang kebenaran FAKTANYA..
ARWAH orang yang telah meninggal dunia ketika keluar dari jasad akan berada pada suatu tempat sesuai dengan derajat dan amal orang tersebut :
Arwah para Nabi bertempat di surga dengan menikmati segala kenikmatannya
Arwah para Syuhadaa' berada pada perut burung hijau yang berlalu lalang disurga sembari menikamati makanan dan minuman surga
Arwah orang Mukmin yang taat berada di taman surga namun belum bisa menikmati hidangan surga melainkan hanya bisa menikmati panoramanya
Arwah orang Mukmin yang durhaka berada diruang angkasa antara bumi dan langit
Arwah orang kafir yang mengingkari Tuhannya berada pada perut burung berwarna hitam di tempat bernama Sijjin yang berada dilapisan bumi ketujuh dengan mengalami siksaan yang pedih
Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW bersabda :
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
"Tidak ada (penyakit) menular, ramalan buruk, arwah gentayangan dan cacing kudis (yang menular)" (HR Bukhari dan Muslim)
Redaksional hadits tersebut dengan menggunanakan nafi pada lafadz (لا هامة) yang mengindikasikan bahwa fenomena arwah orang mati gentayangan TIDAK TERJADI. Hadits ini sesuai dengan sebuah ayat dalam AlQuran
"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir" (QS. 39:42).
Dalam menafsiri ayat ini Imam AlQurthuby dengan mengutip beberapa pendapat Ulama' Ahli Tafsir mengatakan bahwa ketika seseorang tidur akan bisa terjadi perjumpaan antara ruhnya dengan ruh-ruh orang yang telah mati,keduanya saling mengutarakan keadaan masing-masing, dan ketika keduanya hendak kembali ke jasad mereka masing-masing, Allah SWT menahan ruh orang yang telah mati dan melepas ruh orang yang masih hidup. Sehingga sangat mustahil arwah ORANG MATI yang berada dalam genggaman Allah dan menjalani ketentuannya masing-masing akan gentayangan dalam wujud hantu.
Dari keterangan tempat arwah setelah berpisah dari jasad dan dalil nash yang berkaitan dengannya, klaim yang paling logis perihal fenomena diatas adalah bahwa hantu atau arwah gentayangan ini merupakan penjelmaan jin (khususnya Jin Qorin).
Jin Qorin adalah jin yang selalu dekat menyertai orang sejak lahir hingga kematian. Qorin inilah yang paham betul dengan tipikal, kebiasaan dan kepribadian orang yang disertainya sehingga tidak aneh jika Qorin sanggup menjawab hal-hal yang bersifat intim dan privasi serta bisa meniru gaya, perilaku bahkan menyamar menjadi orang yang disertainya ketika hidup. Dalam sabdanya Rasulullah SAW telah menegaskan mengenai eksistensi Qorin ini
"Tidaklah seorang pun dari kalian kecuali telah ditetapkan JIN yang menyertainya" (HR. Muslim dan Ahmad)
Dan bukti bahwa hantu atau arwah gentayangan tersebut adalah jelmaan Jin berdasarkan apa yang tersirat dalam Hadits Nabi :
"Jin ada tiga kelompok, ada yang mempunyai sayap dan bisa terbang, ada yang menyerupai ular, dan ada yang bisa berjalan dan bergerak (seperti manusia).(H.R. Tabrani).
Berdasarkan keterangan dari Imam Az-Zuhaily golongan jin yang ketiga inilah yang biasanya menjelma dan menampakkan diri dalam wujud hantu apalagi jin memang diberi kemampuan untuk menjelma dalam bentuk yang beraneka ragam.
Adapun perihal arwah orang yang mati tidak wajar gentayangan selama 40 hari memang memiliki relevansi kebenaran jika yang dimaksud adalah arwah orang-orang ahli maksiat, namun kendati demikian arwah tersebut tidak menjelma dalam bentuk hantu dan juga tidak terbatas dalam masa 40 hari saja tetapi mereka menempati dalam ruang antara bumi dan langit dan dalam masa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Wa Allaahu A'lamu bi as-Shawaabi
REFERENSI : Sab'ah Kutub al-Mufiidah 186, Anwaar al-Buruuq 2/227, Tafsiir Al-Qurthuuby 15/260, Faidh al-Qadiir 1/111-112, I'aanah at-Thaalibiin 2/107000

Tuesday, December 8, 2015

Antara Cinta Perasaan dan Kematian

PERTANYAAN :
Oreng Posang
Assalamu'alaikum. apakah masalah perasaan cinta masuk dalam ranah fiqih yang menimbulkan dampak hukum (halal/haram)?misalnya kita sudah punya istri, tp qt masih mencintai wanita lain walaupun kita tdk pernah melakukan hah-hal yang dilarang seperti berduaan, berciuman atau lainnya. tapi hati qta slalu ingat pada wanita itu. bagaimana hukumnya?

JAWABAN :
Masaji Antoro
Wa'alaykumsalam. Antara CINTA, PERASAAN DAN KEMATIAN

[ ص 180 ] 8853 - (من عشق فكتم وعف ومات مات شهيدا) قال ابن عربي : العشق التقاء الحب بالمحب حتى خالط جميع أجزائه واشتمل عليه اشتمال الصماء.
“Barangsiapa yang jatuh cinta lantas dia menahannya hingga ia mati, maka dia mati syahid”. [ Faidh alQadiir VI/233 ].

( من عشق ) من يتصور حل نكاحها لها شرعا لا كامرد ( فعف ثم مات مات شهيدا ) أي يكون من شهداء الاخرة لان العشق وان كان مبدؤه النظر لكنه غيرموجب له فهو فعل الله بالعبد بلا سبب ( خط عن عائشةمن عشق فكتم ) عشقه عن الناس ( وعف فمات فهو شهيد ) والعشق التفاف الحب بالمحب حتى يخالط جميع أجزائه ( خط عن ابن عباس ) واسناده كالذي قبله ضعيف
“Barangsiapa yang jatuh cinta (pada wanita yang semestinya halal untuk ia nikahi secara syara’ tidak jatuh cinta pada semacam amraad (pemuda tampan tanpa kumis) lantas dia menahannya hingga ia mati, maka dia mati syahid” artinya dirinya tergolong syahid diakhirat karena jatuh cinta meskipun berseminya diawali dari pandangan tapi termasuk hal yang tiada dapat ia hindari, jatuh cinta adalah karya Allah pada hambanya tanpa suatu sebab”“Barangsiapa yang jatuh cinta lantas dia menyimpannya (dari terlihat orang-orang) hingga ia mati, maka dia mati syahid”Jatuh cinta adalah berseminya rasa pada kekasih hingga bercampur diseluruh anggaauta tubuhnya.Sanad hadits ini dan hadits sebelumnya adalah dho’if. [ At-Taysiir Bi Syarh al-Jamii’ as-Shoghir II/833 ].

SYARAT JATUH CINTA TERGOLONG SYAHID
Disyaratkan kematian yang dapat membawa seseorang tergolong syahid akhirat adalah :
• Iffah ialah tidak sampai menjerumuskannya pada perbuatan maksiat meskipun sekedar melihat yang diharamkan
• Kitmaan ialah tidak diekspresikan dengan bentuk ungkapan namun ia pendam dalam hati, meskipun mengungkap perasaan kala seseorang jatuh cinta hukumnya sunnah
• Yang ia cintai halal untuk dinikahi secara syara’

نعم الميت عشقا شرطه العفة والكتمان لخبر من عشق وعف وكتم فمات مات شهيدا وإن كان الأصح وقفه على ابن عباس قال شيخنا ويجب أن يراد به من يتصور إباحة نكاحها له شرعا ويتعذر الوصول إليها كزوجة الملك وإلا فعشق المرد معصية فكيف تحصل بها درجة الشهادة اه.
[ Mughni al-Muhtaaj I/350 ].
( قَوْلُهُ وَالْمَيِّتُ عِشْقًا ) أَيْ بِشَرْطِ الْعِفَّةِ عَنْ الْمُحَرَّمَاتِ بِحَيْثُ لَوْ اخْتَلَى بِمَحْبُوبِهِ لَمْ يَقَعْ بَيْنَهُمَا فَاحِشَةٌ وَبِشَرْطِ الْكِتْمَانِ حَتَّى عَنْ مَحْبُوبِهِ وَإِنْ كَانَ يُسَنُّ إعْلَامُهُ بِأَنَّهُ يُحِبُّهُ وَمَعَ ذَلِكَ لَوْ أَعْلَمَهُ فَاتَتْهُ رُتْبَةُ الشَّهَادَةِ ا هـ ...وَعِبَارَةُ الشَّوْبَرِيِّ قَوْلُهُ وَالْمَيِّتُ عِشْقًا أَفْتَى الْوَالِدُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ عِشْقِ مَنْ يُتَصَوَّرُ نِكَاحُهُ شَرْعًا أَوْ لَا كَالْأَمْرَدِ حَيْثُ عَفَّ وَكَتَمَ إذْ الْمَحَبَّةُ لَا قُدْرَةَ عَلَى دَفْعِهَا وَقَدْ يَكُونُ الصَّبْرُ عَلَى الثَّانِي أَشَدَّ إذْ لَا وَسِيلَةَ لَهُ لِقَضَاءِ وَطَرِهِ بِخِلَافِ الْأَوَّلِ.
[ Hasyiyah al-Jamaal VII/155 ].

Membayangkan wanita lain saat berhubungan ‘intim’ dengan istrinya menurut kalangan Malikiyyah, Hanabilah, Hanafiyyah dan sebagian kalangan Syafi’iyyah hukumnya haram dan berdosa namun sebagian kalangan Syafi’iyyah tidak sampai menghukuminya haram karena bayangan dan perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat ia kuasai.


BIOGRAFI SINGKAT IMAM MUSLIM





Oleh : Mbah Jenggot
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan MaaWara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.

Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana(mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).

Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.

Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.

Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.

Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.

Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.

Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."

Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.

Walaupun beliau memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.

Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

Antara Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.

Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.

Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.

Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad. Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

Wafatnya Imam Muslim

Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin

Monday, December 7, 2015

Hukum Membunuh Ular dan Semut




PERTANYAAN :
She'Jasmine Ayda Az-zahra
‎Apakah membunuh ular dan semut itu berdosa ?
JAWABAN :
   Masaji Antoro
Dalam al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah 17/283 dijelaskan :
م - مَا يُكْرَهُ قَتْلُهُ مِنَ الْحَشَرَاتِ :
كَرِهَ الشَّارِعُ قَتْل بَعْضِ الْحَشَرَاتِ كَالضُّفْدَعِ لِمَا رَوَى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُثْمَانَ قَال : ذَكَرَ طَبِيبٌ عِنْدَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَوَاءً ، وَذَكَرَ الضُّفْدَعَ يُجْعَل فِيهِ ، فَنَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْل الضُّفْدَعِ (1) .
وَقَال صَاحِبُ الآْدَابِ الشَّرْعِيَّةِ (2) : ظَاهِرُهُ التَّحْرِيمُ .
وَكَرِهَ قَتْل النَّمْل وَالنَّحْل ، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْل أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ : النَّمْلَةُ ، وَالنَّحْلَةُ ، وَالْهُدْهُدُ ، وَالصُّرَدُ (3) .
وَاسْتَثْنَى الْفُقَهَاءُ النَّمْل فِي حَالَةِ الأَْذِيَّةِ ، فَإِِنَّهُ حِينَئِذٍ يَجُوزُ قَتْلُهُ .
وَفَصَّل الْمَالِكِيَّةُ ، فَأَجَازُوا قَتْل النَّمْل بِشَرْطَيْنِ : أَنْ تُؤْذِيَ ، وَأَنْ لاَ يَقْدِرَ عَلَى تَرْكِهَا ، وَكَرِهُوهُ عِنْدَ الإِِْذَايَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى تَرْكِهَا ، وَمَنَعُوهُ عِنْدَ عَدَمِ الإِِْذَايَةِ ، وَلاَ فَرْقَ عِنْدَهُمْ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ الإِِْذَايَةِ فِي الْبَدَنِ أَوِ الْمَال .
__________
(1) حديث : نهى عن قتل الضفدع . أخرجه النسائي ( 7 / 420 ط المكتبة التجارية ) والحاكم ( 4 / 411 ط دائرة المعارف العثمانية ) وصححه ووافقه الذهبي
(2) الآداب الشرعية 3 / 369
(3) حديث : " نهى عن قتل أربع من الدواب " . أخرجه أبو داود ( 5 / 418 - 419 - تحقيق عزت عبيد دعاس ) وجود إسناده ابن مفلح المقدسي في " الآداب الشرعية " ( 3 / 373 - ط المنار ) .
وَقَدْ ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ إِِلَى جَوَازِ قَتْل الْحَشَرَاتِ ، لَكِنَّ الْمَالِكِيَّةَ شَرَطُوا لِجَوَازِ قَتْل الْحَشَرَاتِ الْمُؤْذِيَةِ أَنْ يَقْصِدَ الْقَاتِل بِالْقَتْل دَفْعَ الإِِْيذَاءِ لاَ الْعَبَثَ ، وَإِِلاَّ مُنِعَ حَتَّى الْفَوَاسِقُ الْخَمْسُ الَّتِي يُبَاحُ قَتْلُهَا فِي الْحِل وَالْحَرَمِ .
وَقَسَمَ الشَّافِعِيَّةُ الْحَشَرَاتِ إِِلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ :
الأَْوَّل : مَا هُوَ مُؤْذٍ مِنْهَا طَبْعًا ، فَيُنْدَبُ قَتْلُهُ كَالْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ ، لِحَدِيثِ عَائِشَةَ قَالَتْ : أَمَرَ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْل خَمْسِ فَوَاسِقَ فِي الْحَرَمِ : الْحِدَأَةُ ، وَالْغُرَابُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ (1) وَأُلْحِقَ بِهَا الْبُرْغُوثُ وَالْبَقُّ وَالزُّنْبُورُ ، وَكُل مُؤْذٍ .
الثَّانِي : مَا يَنْفَعُ وَيَضُرُّ فَلاَ يُسَنُّ قَتْلُهُ وَلاَ يُكْرَهُ .
الثَّالِثُ : مَا لاَ يَظْهَرُ فِيهِ نَفْعٌ وَلاَ ضَرَرَ كَالْخَنَافِسِ ، وَالْجُعْلاَنِ ، وَالسَّرَطَانِ فَيُكْرَهُ قَتْلُهُ .
وَيَحْرُمُ عِنْدَهُمْ قَتْل النَّمْل السُّلَيْمَانِيِّ ، وَالنَّحْل وَالضُّفْدَعِ ، أَمَّا غَيْرُ السُّلَيْمَانِيِّ ، وَهُوَ الصَّغِيرُ الْمُسَمَّى بِالذَّرِّ ، فَيَجُوزُ قَتْلُهُ بِغَيْرِ الإِِْحْرَاقِ ، وَكَذَا بِالإِِْحْرَاقِ إِنْ تَعَيَّنَ طَرِيقًا لِدَفْعِهِ .
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى اسْتِحْبَابِ قَتْل كُل مَا كَانَ طَبْعُهُ الأَْذَى مِنَ الْحَشَرَاتِ ، وَإِِنْ لَمْ يُوجَدْ مِنْهُ أَذًى قِيَاسًا عَلَى الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ ، فَيُسْتَحَبُّ عِنْدَهُمْ قَتْل الْحَشَرَاتِ الْمُؤْذِيَةِ كَالْحَيَّةِ ، وَالْعَقْرَبِ ، وَالزُّنْبُورِ ، وَالْبَقِّ ، وَالْبَعُوضِ ،
__________
(1) الحديث سبق تخريجه ف / 7
وَالْبَرَاغِيثِ ، وَأَمَّا مَا لاَ يُؤْذِي بِطَبْعِهِ كَالدِّيدَانِ ، فَقِيل : يَجُوزُ قَتْلُهُ ، وَقِيل : يُكْرَهُ ، وَقِيل : يَحْرُمُ .
وَقَدْ نَصُّوا عَلَى كَرَاهَةِ قَتْل النَّمْل إِلاَّ مِنْ أَذِيَّةٍ شَدِيدَةٍ ، فَإِِنَّهُ يَجُوزُ قَتْلُهُنَّ ، وَكَذَا الْقُمَّل (1) .
__________
(1) تبيين الحقائق 2 / 66 ، بدائع الصنائع 2 / 196 ، والفواكه الدواني 2 / 455 ، 456 ، حاشية الجمل 5 / 273 ، نهاية المحتاج 3 / 343 ، 344 ط مصطفى الحلبي ، كشاف القناع 2 / 439 ، الإقناع 2 / 235
(2) سورة المائدة / 95
JENIS BINATANG KECIL BUMI YANG MAKRUH DIBUNUH
Syariat agama melarang membunuh sebagian jenis binatang seperti katak berdasarkan riwayat dari Abdur Rohman Bin Utsman “Seorang tabib menjelaskan obat di sisi Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menyebut katak, Rosulullah kemudian melarang membunuh katak” (HR an-Nasaai VII/420, Hakim IV/411 dishahihkan oleh adz-Dzahabi)