Aku Preman Aku Iman
Oleh: Noor Cahyo
Hujan,
Lama aku duduk termenung,
Bersandar pada kursi yang sudah apung,
Dingin,
Lama juga aku memikirkanmu,
Memutar otak tapi tak ketemu2,
Preman,
Tiba-tiba aku teringat padamu,
Apa kabar, apakah masih seperti yang dulu…???
Ditakuti,
Disegani,
Kadang juga dibenci,
Ah dia yang membenci,
Adalah membenci diri sendiri,
Preman,
Aku akan jadi sepertimu,
Kau bebas, kau lepas,
Yang kau cari hanya puas,
Tak peduli harga diri dilucuti,
Preman,
Akau akan jadi sepertimu,
Mengerti bahasa kehidupanmu,
Kau punya rumus yang tak ada dibuku,
Itulah jarang, mengapa manusia tak mengertimu,
Preman,
Aku akan jadi sepertimu,
Dan saat aku jadi temanmu,
Akan aku lucuti kemunafikanmu,
Akan aku telanjangi kesombonganmu,
Bodoh amat apa kata orang,
Akan aku sentuh hatimu yang paling dalam,
Akan aku cari seberkas cahaya keimanan,
Bukankah Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?
Dan akhirnya itulah akhir,
Amar makruf nahi munkar,
Dakwah fil islam,
Entah kau beriman atau tetap preman?
“Asrma Keluarga Mahasiswa”
Asramaku Dhuafaku
Oleh:cahyo
Kata orang kita ini dhuafa,
Benarkah?
Ah..percaya gak percaya,
Kita ini dhuafa,
Meng-aku-aku dhuafa,
Atau di-aku-i dhuafa,
Entahlah, hanya Tuhan yang Maha Kuasa,
Megah,
Mewah,
Indah,
Itukah simbol dhuafa kita?
Berdiri paling tinggi,
Diantara bangunan tinggi,
Apa yang terselip dihati jika bukan iri,
Bukankah itu sebuah “ironi”??
Ya ironi masa kini, yang dibumbu-bumbu-i
Itulah,
Asramaku, asramamu, asrama kita..
Tapi bagiku kini tidak lagi,
Saat ini,
Rumah itu besar, tapi kosong
Kosong dari kasih sayang,
Kosong dari rasa kekeluargaan,
Kosong dari kebersamaan,
Semoga saja tidak kosong dari keimanan,
Tidak ada yang dihasilkan dari sesuatu yang kosong,
Selain kekosongan,
Rumah besar harusnya menghasilkan sesuatu yang besar,
Tapi tidak, itu kadang juga hanya sebuah harapan,
Ah betapa naifnya kita,
Oh asramaku…
Kau itu terlalu megah untuk simbol dhuafa,
Kau itu terlalu mewah untuk alasan tanya, dan
Kau terlalu indah untuk jiwa-jiwa hampa,
Akhirnya aku-aku bangga jadi dhuafa,
Bukan karena menerima “makna dhuafa”,
Tapi karena punya “asrama dhuafa”,
Sungguh, metafora yag meyesakkan dada,
Tapi aku cinta rumah ini,
Meski sederhana, kecil, namun berisi,
Itulah yang ingin aku ajarkan padamu,
Saudara se-dhuafa-ku,
Isilah asrma ini dengan hati,
Bukan asrma yang kau masukkan ke hati,
Isilah dengan “cinta dan kasih sayang” ilahi,
“Agar aku juga tidak bosan untuk terus “bersilaturrohmi”,
Asrama keluarga Mahasiswa,
Rabu, 12/12-12
Jam 10.30
Kelana
Oleh: Noor Cahyo
Kelana…
Sejauh apa pun engkau pergi
Tak ada tempat untuk kembali
Tak ada tempat menghibur diri
Hatimu itulah tujuan sejati
Kelana…
Kemanapun kaki melangkah
Selalu saja ada hal-hal indah
Kemana mata berpaling
Disana wajah Tuhan selalu hadir
Aku suka berkelana,
Menikmati keindahan Tuhan yang tiada habis2nya,
Tapi terasa kurang jika sendiri
Harus ada kekasih hati yang menemani
Pati, 20 Januari 2012
The Wisdom Of Etos
Oleh: Noor Cahyo
Aku didamping dan dibina-i
Karena..
Aku belum bisa mengendalikan diri,
Karena..
Agar aku bisa menjadi sosok terpuji,
Bukankah benar begini?? Akhi..ukhti,,
Ungkapan yang tak meng-akrab-i,
Tak cocok buat kita-kita disini,
Disaat aku tak terkendali,
Disaat aku mulai melanggar janji2 suci,
Tak sepatutnya, bagi guru sejati,
Mengadili, meghakimi, menghukumi, dan menyalah-i,
Secara ego pribadi,
Lihat..
Bagaimana tong sang chong mendidik kera sakti,
Liar, nakal, brutal, selalu membuat onar,
Tapi tidak,
Dihadapan guru sejati, ia bisa mengendalikan diri,
Aneh2 saja, itu hanya cerita narasi,
Tapi itu cerita yang bisa kita pelajar-i,
Bijaksana dan wibawa,
Ia disegani, bukan ditakuti,
Ia dihormati, bukan dihindari,
Oh wahai engkau pendamping2 kami,
Didiklah kita-kita ini supaya jadi terpuji,
Tapi bukan dengan aturan yang diperdebatkan,
Melainkan dengan aturan yang membaikkan kehidupan,
Jika aku liar,
Engkau harus sabar,
Jika aku tak terkendali,
Engkau harus mengerti,
Jika aku berbuat dosa,
Engkau harus bijaksana,
Sebab bukan engkau ada,
Aku ada disini,
Tapi karena aku ada,
Engkau ada disini,
Anggap saja aku ini anak,
Anak adalah gambaran ibu bapak,
“Apa jadinya aku,
Adalah hasil lukisanmu.”
Wahai Pembina dan Pendampingku,
Maafkan, jika kata-kata ini menusuk hati,
Tak selamanya menusuk itu menyakiti,
Itu karena kita sehati dan saling mengasihi,
Bukankah benar begini..?? akhi ..ukhti,
Jika salah, mohon dikoreksi…
Akhirnya..
Tak ada manusia yang sempurna,
Engkau dan aku adalah manusia biasa,
Berarti kita pernah berbuat salah dan dosa,
“Dan pastinya hukuman itu berlaku untuk semua,
Tak adil, jika hanya salah satu yang mendapatkannya”,
Bukankah seharusnya begini, kita bisa saling terbuka,
“Asrama Etos”
Ahad, 16/12-12
Tekad
Oleh: Noor Cahyo
Seperti tak merasa takut,
Dan tak kenal rasa takut,
Atau entah apa? Aku tak tahu,
Engkau terlalu berani,
Seperti anak domba pergi dari kumpulan,
Tak tahu serigala lapar sedang berkeliaran.
Entah apa? Entah bagaimana?
Kau punya satu kekuatan yang aku sebut itu “tekad”
Demi satu tujuan,
Demi masa depan,
Demi kebahagiaan, dan
Demi apa yang kau banggakan,
Langit seolah merestuimu,
Tekadmu runtuhkan gunung kekerdilan,
Tekadmu membelah angin keraguan,
Dan begitulah tiba-tiba aku belajar darimu,
“Semarang, 2012”
Anak Haram
Oleh: Noor Cahyo
Aku adalah anak “haram*”,
Engkau juga anak “haram”,
Kita semua adalah anak “haram”,
Oh Tuhan..
Mengapa Engkau meng-haram-kan
Anak haram dari sesuatu yang “haram”?
Tuhan..
Ternyata tidak ada ciptaMu yang kotor,
Semua yang disisiMu adalah “suci”,
Suci dan kotor hanya disisi manusia,
Tuhan..
Sekarang aku tahu,
Engkau mencintai bukan karena Dzatmu,
Tapi karena makhlukMu yang hina,
Pantaslah Engkau meng-haram-kan kami,
Dari yang haram.
“Semarang, 2012”
*haram, bahasa arab
artinya “suci”
Wajah Yang Menipu
Oleh:
Cahyo
Lihatlah wajah ini!
Wajah yang sudah menipu banyak orang.
Tapi ia sudah tak peduli dengan jasadnya
Karena sebentar lagi ia akan hancur bersama tanah.
Sekarang hanya roh-ku yang abadi
Ia akan terbang melebihi malaikat
Menuju sang kekasih Yang Mulia.
Tapi aku prihatin dengan jiwa-jiwa itu
Mereka merendahkan jiwanya sendiri
Karena memandang dan melihat yang tak abadi.
Seperti wajah ini, wajah yang penuh luka dan
carut-marut…
Wahai saudaraku…
Kau lihat diri ini penuh dengan keburukan dan
ketidaksempurnaan.
Itu adalah penglihatan dangkal,
Bisakah engkau melihat lebih dalam
Agar tak tertipu oleh wajah ini.