Sabtu,
3 November 2012 etos pecinta alam kembali melakukan ekspedisi pendakian, kali
ini yang menjadi target adalah gunung sindoro, Temanggung. Etoser yang akan
melakukan pendakian ada 4 orang, yaitu; ridho, tarno, udin kecil, dan cahyo.
Sesuai dengan rencana, kita berangkat dari semarang jam 4 sore. Setelah
menyiapkan semua peralatan dan kebutuhan yang akan dibawa, kita langsung
meluncur ke temanggung dengan menggunakan sepeda motor. Ow ya, tidak lupa
sebagai umat yang beragama sebelum berangkat kita berdo’a dulu, semoga selamat
sampa tujuan, tapi tujuan kita bukanlah puncak sindoro melainkan asrama etos.
Sampai
ungaran perjalanan macet, banyak orang yang baru pulang dari kerja. Sehingga
kita pun tidak bisa melaju dengan cepat, terpaksa harus melaju dengan kecepatan
rendah. Setelah belok ke arah magelang-jogja baru perjalanan bisa dikatakan lancar.
Baru sampai di daerah ambarawa adzan maghrib sudah berkumandang. Kebetulan
waktu itu aku dan ridho puasa, jadi adzan maghrib adalah waktu yang paling
ditunggu2. Kita berbuka dengan sebotol minuman dan kita minum dalam keadaan
motor masih melaju. Ya nggak apa-apa namanya juga terpaksa, he
Singkat cerita selelah melalui
perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan, alhirnya sampai juga di basecame
pendakian gunung sindoro. Letaknya sebelum perbatasan temanggung-wonosobo.
Tidak lupa sebelum kita mendaki, kita makan dulu sebagai asupan tenaga buat perjalanan
muncak nanti. Kita makan bekal yang sudah kita bawa dari semarang ada nasi dan
lauk-sayur yang baru saja dibeli dipinggir jalan. Rasanya enak sekali, karena
emang saat itu kita bener-bener kelaparan.
Oke, sebelum berangkat tidak lupa kita
mengeluarkan alat-alat yang perlu dibawa seperti senter, jaket, dll. Setelah
semua dirasa siap semua, kita langsung berangkat untuk melakukan pendakian.
Kira-kira saat itu sekitar jam setengah sepuluh. Seperti biasa sebelumnya kita
berdo’a dulu, agar diberi kemudahan dan kelancaran dalam mendaki serta selamat
sampai tujuan.
Bismillah, akhirnya kita berangkat juga.
Jalan sebelum masuk hutan, relative landai
dan dilapisi dengan batu dan jadi nggak terlalu berat. Untungnya kali ini
cuaca cerah banget, sehingga dalam perjalanan kita bisa melihat gunung sumbing,
saudaranya gunung sindoro. Perjalanan dari basecamp ke hutan hampir sekitar 1
jam, lumayan jauh juga namun karena kita melakukan pendakian di malam hari jadi
nggak terasa soalnya kita nggak melihat jauhnya jalan yang akan kita lalui.
Mulai memasuki hutan, jalanan masih
landau dan bertanah pastinya. Dengan langkah yang mantap dan pasti kita terus
berjalan, karena puncak masih jauh diatas. Ow ya, sebelumnya si udin sudah 3x
muncak digunung sindoro ini. Tapi kali ini ada sedikit masalah, banyak sekali
percabangan jalan, kita mulai ragu-ragu. Namun kita tetap melangkah, jalannya
mulai agak naik, tapi belum seberapa. Hingga akhirnya setelah kita berjalan
cukup jauh kita bertemu dengan pendaki lain yang sedang nge-camp. Tapi
perjalanan masih begitu panjang, kita pun naik-naik ke puncak gunung
tinggi-tinggi sekali, hehehe
Sampai akhirnya kita dipertemukan dengan
sebuah percabangan, dan kita nggak tahu mana jalan yang kea rah puncak. Bahkan
si udin pun yang sudah muncak 3x lupa jalannya. Yang ke kana nada tanda panah
dengan tulisan stupa, sedangkan yang ke arah kiri tidak ada. Dengan segala
keyakinan kita memilih jalan yang ke
kanan. Tapi semakin lama jalannya turun dan turun, nah disitu kita mulai
ragu, harusnya muncak itu jalannya naik, bukan turun, namun kita tetap melanjutkan
perjalanan siapa tahu nanti abis ini jalannya naik.
Tarno, orang yang berjalan di depan
tiba-tiba menginstruksikan kalau jalannya buntu. Aku nggak tahu apakah buntu
bener atau tidak? Namun setelah dpikir-pikir kita memutuskan untuk kembali,
mungkin ini jalan yang salah dan kita mencoba jalan yang ke kiri. Kali ini
jalannya naik terus, tapi setelah berjalan agak jauh seperti jalan yang
pertama, kata si tarno jalannya buntu. Nah dari situ mulailah timbuk rasa takut
dalam diriku. Gimana ini kalau jalannya buntuk semua, apa yang harus kita
lakukan? Masak kita harus pulang dan nggak jadi muncak?
Dengan bijak, si ridho
berkata:”bagaimana kalau kita turun lagi sampai pas ketemu orang yang nge-camp
tadi, siapa tahu jalan yang bener ditutupi sama tendanya”. Kita pun langsung
turun, bayangkan, padahal jarak perjalanan yang sudah kite lewati itu cukup
jauh dan harus kembali lagi ke bawah.
Pastinya teman-teman yang lain juga
merasa khawatir, bagaimana kita bisa muncak kalau tidak tahu jalan menuju ke
puncak. Sudah lumayan banyak tenaga yang terbuang karena tersesat. Sampai orang
nge-camp, dicari jalannya ternyata nggak ada. Ya sudah akhirnya kita memutuskan
untuk nge-camp saja dan melanjutkan perjalanan esok pagi. Rencana untuk sunrise
di puncak gagal total. Setelah dapat tempat yang pas, lalu kita dirikan tenda
dan mulai membuat minuman hangat, kopi dan nutriasari, hehe
Malam yang biasanya kita lalui diasrama
begitu singkat, sekarang malam terasa begitu panjang. Pas sekali dengan sabda
nabi: “malam itu panjang, jangan kau memendekkannya dengan tidur.” Untuk
mengembalikan energi yang sudah banyak terbuang, kita pun langsung istirahat,
saat itu sekitar jam 1 an. Rencananya kita mau muncak jam 4 pagi. Tapi juga
gagal, karena kita semua masih pada tidur, ya mungkin karena kecapeaan setelah
perjalanan semalam.
Jam setengah 6 baru bangun semua, tidak
lupa sholat subuh dulu. Meskipun di hutan kita juga harus tetap menjaga
keimanan dan ketaqwaan, insya Allah kalau bisa seperti itu kita akan selamat
dimanapun kita berada.
Ya udah akhirnya mau nggak mau pagi itu
juga kita harus muncak karena kita sudah sangat telat sekali. Harusnya fajar
tadi kita harus berangkat. Tapi apa boleh buat, kita hanya bisa berencana
Tuhanlah yang menentukan semuanya.
Ow ya, ada yang membuatku sangat
tertegun. Disamping camp kita ada 2 orang ibu2 yang sedang mencari kayu. Dalam
hati aku berkata “luarbiasa sekali”, tau ndak jarak perumahan dari kita
nge-camp itu sangat jauh, tapi bisa-bisanya ibu2 itu mencari kayu sampai sana.
Apalagi nanti kalau pulangnya sambil membawa kayu. Manusia gunung emang super2.
Tenaganya tidak diragukan lagi, bahkan ibu2 sekalipun.
Aku nggak tahu mungkin ibu2 itu sengaja
dikirim Tuhan untuk meunjukkan kepada kita jalan yang benar. Gimana tidak,
setelah kita Tanya kepada salah seorang ibu, “kemana jalan menuju puncak?”
beliau menjawab: “yang ke arah timur mas”, ow berarti itu yang ke arah kanan.
Padahal tadi malam kita sudah mencoba jalur yang kanan, tapi jalannya
meragukan, ya mungkin karena gelap atau
apa aku nggak tahu.
Seperti yang ibu pencari kayu katakan,
kita langsung melanjutkan perjalanan dan saat ketemu dengan pertigaan akan
mengambil jalur yang kanan. Eh benar saja, setelah kita telusuri akhirnya kita
yakin bahwa ini adalah jalan menuju puncak, meskipun jalannya sempet turun, tapi abis itu jalannya naik terus.
Langkah demi langkah, kita terus
menapaki jalan ditengah hutan dan sesekali melewati bebatuan yang besar-besar.
Ya maklum karena jalur pendakian ke gunung itu biasanya jalan air, makanya
jalannya banyak bebatuan.
Nafas pun mulai ngos-ngosan, namun
akhirnya kita sampai juga di pos 3, diketinggian sekitar 2350 MDPL. Sesekali
kita juga bertemu dengan pendaki lain yang turun, tidak lupa saling menyapa dan
bertanya, darimana asalnya. Perjuangan yang luarbiasa, harusnya tadi malem kita
ng-camp di pos 3. Tapi nggak apa-apa insya Allah ini yang terbaik. Sampai di
pos 3 sekitar jam 9 nan, karena sudah capek kita istirahat sebentar untuk
mengumpulkan energy kembali. Sambil minum-minum karena tenggorokan sudah sangat
kering.
Puncak sindoro sudah semakin dekat, itu
membuat semangatku kembali membara. Kali ini jalannya berbeda dari yang sebelumnya.
Lebih menantang dan lebih berbahaya, karena bebatuan yang begitu banyak dan
derajat ketinggiannya semakin tinggi. Ini akan membutuhkan banyak sekali
tenaga.
Apalagi aku, jantungku yang lemah
membuatku cepat capek dan kehabisan nafas. Baru 1 menit jalan, aku sudah
ngos-ngosan, track nya sangat luarbiasa. Setelah aku tahu ternyata punak masih
jauh, aku menjadi lemas tak berdaya. Bisa dibilang ini adalah perjuangan antara
hidup dan mati. Bahkan aku hampir saja menyerah karena merasa sudah tidak punya
kekuatan lagi. Padahal puncak masih jauh. Setiap kali melihat ke puncak yang
masih jauh, saat itu juga aku seperti orang yang kehilangan harapan.
Dengan cakra yang tersisa yang hanya
tinggal sedikit, aku mencoba untuk terus melangkah meskipun setiap satu menit
harus berhenti karena tenaganya sudah tidak kuat dan juga nafasnya yang hampir
habis. Aku seperti kambing yang kepanasan, menggos-menggos.
Puncak-puncak, bisakah aku menggapaimu. Ingin
sekali aku segera sampai puncak untuk melepaskan semua kelelahan ini. Ow ya,
ada yang kelewat. Jadi dari tempat kita nge-camp yang membawa tas carrier
adalah aku. Jadi selama perjalanan aku membawa beban yang paling berat. Mungkin
itu juga yang membuat aku kehabisan tenaga dan juga cepat kehabisan nafas.
Sebenarnya kawan-kawan keadaannya juga
sama, sama-sama kehabisan tenaga dan juga kehabisan nafas. Tapi mereka mending,
karena mereka hanya bawa tas kecil yang bebannya tidak terlalu berat. Tapi
nggak apa-apa aku rela menderita demi adek-adek2ku. Yang penting kita semua
happy.
Gunung sindoro memiliki beberapa puncak
bayangan, jadi setiap kali kita mengira itu puncak ternyata bukan. Diatasnya
masih ada puncak lagi, beberapa kali seperti itu. Nah itu yang membuat aku jadi
kehilangan semangat. Tapi keinginan untuk sampai puncak sangat luarbiasa. Jadi
apapun yang terjadi aku akan tetap terus mendaki sampai puncak.
Serasa diambang batas, antara hidup dan
mati. Saat itu aku bener-bener berada pada titik darah penghabisan, berada pada
titik terakhir kehidupan. Karena sudah tidak ada lagi kekuatan yang aku miliki.
Apalagi untuk melangkah untuk bergerak saja berat.
Namun Allah adalah Tuhan yang Maha
Pengash lagi Maha Penyayang. Disaat-saat seperti itu aku masih diberi kekuatan
untuk melangkah, meskipun rasanya sudah tak karuan, karena tulang terasa kedor
semua.
Jalan menuju puncak naik dan naik terus.
Dibutuhkan tenaga yang lebih untuk melangkah naik. Aku pun hanya bisa pasrah
dengan kekuatan yang tersisa. Namun dengan keyakinan yang kuat, yang tertancap
dalam hati. Untuk mencapai puncak, sedikit demi sedikit aku terus melangkah dan
puncak pun makin terlihat dekat.
Naik dan naik terus, akhirnya segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam kita semua mencapai puncak. Si udin dan si
tarno pun berteriak keras “hore puncak, hore puncak” kemudian aku lihat tarno
sujud syukur. Sebagai ungkapan rasa syukur yang tiada terkira. Karena sudah
diberi kekuatan untuk sampai puncak.
Puncak akhirnya kita bisa menggapainya.
Jadi dipuncak sindoro itu ada kawah yang cukup luas dan dibawahnya menyemburkan
gas belerang yang baunya nggak enak. Kata si udin dibawah kawah juga ada
makam-makam pendaki yang meninggl ketika mendaki. Tapi kita nggak sampai turun
ke bawah. Soalnya capek berat dan kehabisan tenaga.
Di puncak kita masak-masak dan
mendirikan tempat untuk berteduh. Meskipun dipuncak tapi tetep saja panas,
karena mataharinya juga semakin dekat. Hawa dinginnya tidak begitu terasa.
Diatas kita masak mie, sarden dan nasi. Tapi nasinya tidak bisa mateng, ntah
karena airnya yang kurang atau apinya yang kurang panas. Ya udah akhirnya kita
makan mie, sarden dan sedikit nasi yang kelihatan udah matang. Tapi tetep saja
sebenarnya masih mentah.
Setelah makan, abis itu kita sholat dan
mulai foto-foto. Karena dirasa cukup, kita mulai berkemas dan bersiap untuk
turun. Perjalanan turun bakalan tidak kalah ketika naik. Karena tenaga yang
tersisa tidak banyak, ditambah rasa capek dan pegel yang belum hilang.
Singkat cerita, kita menuruni bukit
sampai pos 3. Meskipun turun tapi tetep saja ngos-ngosan. Jarak dari puncak
sampai pos 3 ternyata jauh sekali. Untuk mengejar waktu kita tidak beristirahat
terlalu lama, karena saat itu sudah sore. Setelah pos 3 kemudian kita mulai
memasuki hutan. Kalau kita kemalaman dihutan bisa bahaya, oleh sebab itu kita
cepat2.
Sampai di hutan jujur saja sebenarnya
kakiku sudah tidak kuat. Sudah tidak kuat untuk menuruni bukit lagi. Lututku
tidak kuat menahan beban tubuhku. Namun lagi-lagi aku harus memaksakan diri, karena
hutan sudah mulai gelap. Kalau tidak bisa bahaya.
Aku pun terus berlari menuruni bukit,
karena kalau dibuat jalan justru malah nggak kuat. Jalan dan lariku sudah nggak
seimbang lagi, kaki rasanya sempoyongan menahan beban tubuh. Benar2 diambang
batas, antara hidup dan mati. “Ingin aku berteriak: “aku sudah tidak kuat
lagi”.
Mungkin keadaan teman-teman juga sama,
tapi aku lihat si ridho dia masih punya kekuatan untuk berjalan. Mungkin karena
dia sering muncak, jadi sudah terbiasa. Tapi aku sudah tidak punya kekuatan
lagi. Tak ku sangka ternyata untuk keluar dari hutan lama sekali. Dan aku
bener-bener sudah tidak kuat lagi.
Ya Allah berilah aku kekuatan, aku sudah
tidak kuat lagi untuk melangkah dan aku ingin segera sampai di basecamp untuk
melepas segala kelelahan ini. Dalam hati aku berdo’a. karena begitu lelahnya aku
sampai-sampai tidak merasakan lelah. Dan aku terus melangkah dengan kaki yang
sempoyongan. Pintu keluar hutan masih jauh juga, dan aku terus melangkah hingga
akhirnya aku lihat seberkas cahaya. Yang berarti sebentar lagi kita akan keluar
hutan.
Alhmadulillah, pintu keluar sudah di
depan. Tapi aku juga sudah tidak kuat lagi jadi sebelum keluar aku dan kawan2
istirahat dulu. Perjalanan dari hutan ke basecamp hampir satu jam. Dan singkat
cerita akhirnya kita sampai juga di basecamp. Puji syukur bagi Allah.
Akhirnya aku bisa melepas segala
lelahku. Namun perjalanan belum berakhir. Abis itu kita siap-siap untuk balik
ke semarang. Tapi sebelumnya bersih2 dan sholat terlebih dulu. Setelah dirasa
semua siap kita langsung bergegas untuk pulang ke semarang. Seperti waktu
berangkat aku diboncengkan si udin dan si tarno diboncengkan sama si ridho.
Tak ku sangka meskipun lelah tapi si
udin masih bisa naik motor dengan kecepatan tinggi. Ya meskipun aku takut, tapi
aku percaya saja kalau semua akan baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi ketika
sampai di daerah ambarawa, dengan kecepatan tinggi si udin menyelip bis besar
dari sebelah kiri. Lalu si udin kehilangan keseimbangan, akhirnya ia oleng ke
kiri di jalan yang berbatu motor pun tidak bisa dikendalikan dan motor pun
terpelosok ke got, dan untungnya kita berdua tidak apa2, subhanalloh sekali.
Aku benar-benar bersyukur.
Saat itu pikiranku bener2 sudah kemana2,
diantara hidup dan mati. Kali ini Allah masih menyelamatkanku. Mungkin
hikmahnya supaya udin tidak naik motor dengan kecepatan tinggi lagi. Si udin
emg lucu, bahkan dia pernah naik sepeda motor sambil tidur akhirnya terjatuh
untungnya ada ibu2 yang menolongnya.
Untungnya juga motornya masih bisa jalan
meskipun kunci kontaknya hilang. Akhirnya si udin dibonceng sama si tarno, dan
aku bonceng si ridho. Singkat cerita kita sudah sampai di banyumanik. Kali ini
ridho yang hampir menjatuhkanku. Dalam kecepatan tinggi, tidak tahu kalau di
depan ada gunungan jalan yang cukup tinggi dan lebar saat itu aku pun langsung terbang,
untung saja jatuhnya masih di motor. Kalau ndak bisa bahaya.
Emang bener2 diambang batas, antara
hidup dan mati. Tapi Alhamdulillah Allah masih menyelamatkanku dan kawan2.
Akhirnya kita sampai juga di Tembalang tapi sebelum ke asrma kita makan dulu di
oishi, Karena perut rasanya sudah sangat lapar sekali. Nyaemmmmm, enak..
Oke kawan, itu sedikit yang bisa aku
ceritakan. Kembali lagi dengan magister pengelana dengan cerita yang tidak
kalah serunya tentunya.
ow ya ini dia foto-foto di puncak sindoro: