Selasa,
24 Desember 2012, Magister Pengelana kembali mengembara lagi. Kali ini Kota
tujuannya adalah Wonogiri. Ya, Wonogiri, kota yang dulu dia pernah berjanji
akan kesana. Dan Tuhan pun menjawabnya. Tujuan utamanya adalah menghadiri
kawinan Etoser Ikhwan 08, sebut namanya nggak ya…??? He. Nggak usahlah paling
udah pada tahu. Namun setelah itu mau main ke rumah Aya dan Yendhi. Yang
kebetulan rumahnya di Wonogiri.
Ayo kawan-kawan
kita simak sama-sama ceritanya?
Dalam
menulis cerita yang paling susah adalah menulis kalimat pertama. Harus aku
mulai dari mana ini…??? Okelah mungkin kita mulai dari alasan kenapa MP bisa
berkelana ke Wonogiri? Ini memang diluar rencana, sebenarnya aku tidak berniat
ke Wonogiri (maaf karena alasan
keuangan, ya biasa terlalu zuhud akhirnya keblabasen kere), he
.
.
Ternyata
Allah berkehendak lain. Mungkin ini juga berkat harapan dan do’a dari sahabat2
terbaikku dari Wonogiri. Yang awalnya Ahmad pengen berangkat sama Ms Fajri
tenyata nggak jadi, karena Ms Fajri lagi ada banyak cucian, maklum “Loundry
Boy”, begitu kata salah satu adek etoser, haha.
Ya
udah akhirnya Ahmad ngajak aku. Tidak ada salahnya juga ke Wonogiri pake motor,
pikirku. Aku tidak mikir bensin, kan Ahmad yang ngajak, he. Tidak seperti
rencana, yang katanya mau berangkat setengah lima, jadinya baru berangkat jam
7. Mana katanya disiplin, kerja keras? Kalau suruh jargon aja semangat, tapi
semangatnya hanya di lidah saja tidak dimasukkan dalam hati. Mending cahyo
nggak pernah jargon, tapi..tetep sama aja, hahaha. Tapi kali ini kita datang
duluan. Biasa, telat karena nunggu yang akhwat. Kalau mandi dan macak mbok
jangan lama-lama. Tidak perlu tampil memukau lah dihadapanku, biasa aja gitu,
hehe. Geer men ki bocah, ^_^
Wonogiri,
Wonogiri, kau buat aku jadi pusing karena harus menempuh perjalanan yang begitu
panjang dari jam 7 sampai jam 12. Syukurnya sampai sana masih kebagian makanan.
Eh maaf salah yang bener kebagian foto-foto. Eh bukan-bukan kebagian acara
resepsinya maksutnya, hehehe. Ya akhirnya hanya do’a yang terucap buat mas ku
“Eko Triyanto dan Mbak Indri (jenenge singkat men), “Barakallah huma wabara alaikum/a wa jam’a bainakuma bil khoir.”
Semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa rohmah, dan semoga bahagia dunia
akhirat. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin…10.000x
Setelah
makan kenyang, saatnya untuk pulang, horeeeeeeeeeee!! Eits, pulang? Pulang
kemana? Masak perjalanannya 5 jam, acaranya nggak ada 1 jam, langsung pulang. Wah
rugi banget. Ya pulang ke rumah yendhi lah yaw, hehehe. Absen dulu siapa yang
ikut ke rumah yendhi. Ada aku sama ahmad yang naik motor, yang pake mobil ada
Aya, Yendhi, Ijum (g pernah absen), Ipeh, sama beberapa makhluk asing yang
tidak aku kenal (yang pasti teman-teman se-kandang Aya dan Yendhi), hehe. Dan
tidak lupa sopir pribadi etos “Pak Didik”. Tapi sebelum itu kita mampir dulu ke
Waduk buatan Gajah Mungkur. Semua rombongan dari Semarang mampir kesana. Tapi
tak semua ikut ke Bulukerto (rumah Yendhi).
Rumah
yendhi ada di desa Domas, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri (bener ndak?
Kayane bener). Berapa ratus kilometer dari kota aku kurang tahu. Yang pasti
banyak kilometer. Perjalanan aja kurang lebih 2 jam-an, ditambah lagi jalannya
yang kaya ular jalan, berkelak-kelok, naik turun. Ditambah hujan lagi, wah
lengkap sudah cobaan kita (aku dan ahmad).
Sekarang
aku tahu, bagaimana penderitaan Yendhi selama ini. Sungguh tidak beruntung jadi
dirimu yen, aku prihatin. Udah transport susah, jauh dari peradaban, tapi ada
yang lebih parah lagi nggak ada sinyal 3, hihi. akhirnya harus “no sms no
taujih”. Sedih sekali. Tapi nggak apa-apa kesedihan itu terganti saat nyampai
di rumahnya si Jend (nama Jermannya Yendhi).
Akhirnya sampai juga. Tapi ada yang
aneh, tempat parker mobilnya dimana Jend? Kok g ada? Wah katanya pengen punya
mobil, tapi tempat parkirnya saja nggak ada. Saran cahyo Jend, buat kurungan
dulu sebelum punya burung, hehehe. Cahyo do’akan deh, semoga punya mobil (mobil
beneran, bukan mobil-mobilan). Aminnnnnn. Tapi ada syaratnya, nanti beli mobilnya di
Dealer cahyo ya!, haha
Rumahnya sederhana, sesederhana
penghuninya. Rumahnya biasa-biasa saja (maaf bukan bermaksut), namun
penghuninya luar biasa. Rumah yang ramah. Seramah orang-orang yang main. Eh maaf
salah, seramah yang punya maksutnya. Ow ya, mobilnya mau ndak mau harus
dimasukkan ke teras rumah Yendhi. Karena memang disitulah tempat yang tepat.
Samping kiri dan depan rumah ada
pekarangan dengan beraneka macam pohon, ada duren, rambutan, jambu mete,
jagung, dan rumput-rumputan, he. Seperti daerah gunung pada umumnya, hawa
disana dingin, sedingin hatiku yang sedang merindu (halah alay). Sedingin air
pancuran wudhu maksutnya. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup renggang,
jadi terasa sepi (emang sebenarnya sepi og, op maneh pas bengi sepi nyenyet),
he. Tapi aku yakin ikatan masyarakat disana lebih kuat daripada di kota.
Terlihat dari sapaan setiap orang yang aku temui saat jalan-jalan pagi.
Samping kanan ada jalan raya yang
menghubungkan kota Wonogiri dengan Jawa Timur. Pas di seberang jalan ada tempat
yang membuat hati orang Islam menjadi tenang, lupa dengan masalah, lupa dengan
utang-utang, apalagi kalau bukan masjid. Masjidnya cukup besar, tapi maaf
jamaahnya tidak lebih dari 5 orang.
Seperti kita tahu kebanyakan masyarakat
gunung kehidupan ekonominya menengah ke bawah. Terlihat dari bangunan rumahnya
yang begitu sederhana. Namun se-miskin-miskin nya orang gunung mereka masih
bisa tetap makan. Karena alam sudah menyediakan semuanya. Berbeda dengan orang
kota, nggak punya uang ya gelandang, tau kalau nggak cari rongsokan, sungguh
memilkukan.
Malam itu kita menginap di rumah si
Jend. Karena emang rencananya seperti itu. Kita nyampai rumah aja sekitar jam
setengah 6. Jadi mau nggak mau harus istirahat dulu. Insya Allah besoknya baru
dilanjut.
Ada satu hal menarik disini. Ketika
baru nyampai yang ibu-ibu langsung saja ke dapur. Aku mikir kenapa selalu
begitu? Dan kita (kaum adam) cuma nunggu sambil ngobrol ndak jelas. Kenapa ndak
sebaliknya? Sepertinya Tuhan memberikan wanita program otomatis kayak semacam
naluri, “yang entah bagaimana itu membuat wanita dengan sendirinya tanpa
disuruh tiba-tiba pergi ke dapur (ada semacam panggilan jiwa)”, dan pastinya
dilengkapi juga software buat masak, hehe. Inilah salah satu rahasia yang
menarik dari seorang wanita.
Tak lama kemudian, terdengar adzan
maghrib dikumandangkan. Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya melaksanakan
perintah Tuhan yang sangat special ini. Karena hanya perintah sholat yang
diberikan tanpa wahyu, tapi Nabi bertemu langsung dengan Allah. Jadi, sholat
ini sangat special. Dan kita diwajibkan untuk mendirikannya. Di dalam kewajiban
pasti ada hak, dan di dalam setiap hak pasti ada kebutuhan. Nah karena itulah
kita harus mendirikan sholat karena kita butuh, bukan hanya sebatas
menggugurkan kewajiban. Sholat adalah salah satu syariat islam, dan fungsi dari
syariat islam sendiri adalah membawa manusia menuju kesempurnaan spiritual. Oleh
sebab itu syariat menjadi penting, hakikat tanpa syariat adalah batal/tidak
sah, namun syariat tanpa hakikat adalah sia-sia. Mengutip perkataan Imam
Ghazali.
Singkat cerita kita sholat maghrib
berjamaah di masjid. Tidak lupa di jamak dan qoshor, sebagai rukhsoh/keringanan
dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dalam perjalanan. Ketika balik lagi ke rumah
si Jend, aku kaget di meja sudah terhidang makanan. Wah aku nggak nyangka kalau
Allah akan mengabulkan do’a secepat ini. Barusan selesai sholat berdo’a, “Allahumma inna nas aluka barokatan fi
rizqi” Ya Allah kami mohon kepadamu berilah rezki yang barokah.” Lalu rezki
itu sudah terhidang di meja. Wa huwa ala kulli saiin qadir, Dia kuasa atas
segala sesuatu. Itulah Allah.
Karena perut sudah kapar, dan
makanan sudah terhidang apalagi tuan rumah sudah mempersilahkan, ya udah tunggu
apa lagi langsung saja habisi, hehehe. Aku lupa berterima kasih kepada ibu-ibu
yang sudah repot-repot masak buat kita. Makasih ya, ibu-ibu, masakannya enak
entah karena lapar atau karena benar-benar enak.
Sebenarnya saat itu kepalaku terasa
pusing. Sangat menyiksa sekali. Mau tidur ndak bisa tidur, mau ndak tidur
pengen tidur. Akhirnya mau ndak mau aku harus menikmati sakit kepalaku.
Bukankah harusnya seperti itu ketika kita sakit. Mensyukuri pemberian Tuhan
meski sakit sekalipun. Kalau ini pusingnya karena aku kecapean naik motor
Semarang-Wonogiri, bukan sebab sakit pusing yang harus diobati.
Malam semakin larut. Alam mulai
menyanyikan lagu kepada sang Pencipta. Hewan berdzikir dengan caranya
masing-masing. Hanya manusia yang tertidur lelap. Emang dasar manusia. Ya, aku
pun akhirnya tertidur, hehe. Mungkin karena capek, tidurnya pulas banget.
“Sabbaha lillahi ma fis samawati wal ardhi” semua bertasbih kepada Tuhan apa
yang ada di langit dan di bumi.”
Kumandang adzan subuh yang membangunkanku
dari tidur panjang. Rasanya seperti terlahir kembali dengan kekuatan dan
semangat yang baru. Kali ini aku siap menjalani kehidupan. Termasuk sholat
subuh. Meski dingin, dan masih agak terkantuk. Tapi aku harus memaksakan diri.
Nafsul Lawwamah (nafsu yang berada antara kebaikan dan kejahatan) bisa saja
menyeretku tidak sholat. Oleh karena itu terkadang kita harus memaksakan diri
untuk tetap beribadah, bukannya tidak ikhlas. Tapi memang baru sebatas itu maqam
kita.
Setelah semua selesai mandi, kecuali
aku, hehe. Saatnya untuk sarapan pagi. Kali ini aku memilih untuk tidak puasa,
emang sengaja karena kalau aku puasa rasanya tidak enak sama kawan-kawan. Lagi
pula ini puasa sunah, jadi ndak harus selalu aku lakukan. Jika ada sebab-sebab
tertentu boleh saja ditinggalkan atau diganti. Apalagi sunah wajib aja boleh.
Langsung saja beranjak ke rencana
berikutnya. Karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 maka kita siap-siap untuk melanjutkan
perjalanan ke rumah Aya, tidak lupa pamitan kepada si empunya rumah, tapi tidak
termasuk si Jend karena dia ikut main ke rumahnya si Aya. Setelah pamitan Bapak
si Jend berkata, “Jangan bosen main kesini ya!” Wah insya Allah ndak bosen Pak.
Suatu saat aku akan datang lagi kesana. Entah kapan? Mungkin kalau Yendhi menikah
kali ya? Hehehe
Seperti biasa acara diakhiri dengan
foto-foto. Padahal seharusnya kan dengan do’a penutup majles, bukan
bernarcis-narcis ria. He (maaf bercanda). Semoga itu menjadi kenangan yang
indah buat kita semua. Kenangan yang akan mengingatkan kita, akan masa-masa
indah yang tak terulang lagi. Rasanya hati terasa bergetir saat menulis kalimat
ini. “masa-masa indah yang tak terulang lagi.” T.T
Ada pertemuan pasti ada perpisahan.
Ya, tapi semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat tinggal Bapak Ibu dan adeknya
Yendhi. Terimakasih atas sambutan dan hidangannya. Semoga menambah keberkahan.
Amin.
Tak berlama-lama kita langsung
cabut. Perjalanan dari rumah si Jend smapai ke rumah Aya hampir 3 jam.
Buseeeeeeeeeeeet deh. Hampir sama dengan Semarang-Jogja. Oke ndak apa-apa. Im
coming Karang Tengah. Jadi rumah Aya di desa Sampang, Kecamatan Karang Tengah,
insya Allah masih Indonesia, hehehe. Kalau di peta kita tidak akan menemukan
lokasi Karang Tengah, wah parah banget. Desanya terpencil sekali. Lebih dari
rumahnya si Jend. Jalannya naik turun bukit, samping kanan kiri hutan jati. Dan
tidak lama akan sampai Jawa Timur. Subhanallah, aku tidak bisa membayangkan
bagaimana Aya bisa hidup disana.
Setelah menempuh perjalanan yang
penuh liku-liku. Kita sampai juga. sampai sana sekitar jam 12.00, saatnya untuk
sholat dzuhur. Tapi sebelum sampai ke rumah Aya hujan lebat turun. Udah deh aku
basah kuyub kehujanan. Sekalian mandi, tadi pagi aku kan belum mandi, he.
Padahal bawa jas hujan, tapi ndak tak pakai. Males. Sebenarnya awalnya hujan
gerimis, tapi aku tak peduli. Namun siapa sangka tiba-tiba hujannya berubah
jadi lebat. Ya udah berakhir sudah.
Sampai di Karang Tengah rumahnya
Aya, aku langsung ganti pake sarung. Karena hanya itu yang tak bawa. Yang basah
biarlah basah, ntar juga kering sendiri. Pikirku seserhana.
Karang Tengah adalah pemekaran dari
Kecamatan Batuwerno. Di Kec. Karang Teangah ada 5 desa, tapi lebih luas
daripada Batuwerno yang ada 8 desa. Ya sih luas, tapi rumah dan warganya
sedikit. Kalau ini ndak hanya transport yang susah, tapi nyari toko juga susah.
Apalagi Indomaret tidak akan kita temukan. Meski berjalan banyak kilometer.
Pokoknya gitulah, terlalu sulit menggambarkannya mending lihat saja sendiri
kesana.
Ya seperti biasa, kalau kita mertamu
pasti tuan rumah tidak sungkan-sungkan untuk menyediakan makanan buat kita.
Tahu aja nih kalau perutku lapar. “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka mulyakanlah tamu.” Pertanyaannya kenapa harus hari akhir? Bukankah
rukun iman ada 6? Silahkan direnungkan sendiri. Ada apa dengan Hari Akhir atau
Hari Kemudian.
Rumah Aya (rumah ortunya maksutnya)
tidak jauh beda dengan rumah Yendhi. Tapi sedikit lebih pedesaan. Sebagian
besar dindingnya terbuat dari kayu. Lantainya pake semen kalau ndak salah. Tapi
rasanya begitu damai, tenang, tentram, bisa membuat lupa akan tugas-tugas.
Rumah yang bahagia, se-bahagia penghuninya. Kebahagian itu tersimpul dari
senyuman yang menyambut kedatangan kita. Sungguh senyum kebahagiaan. Aku
sendiri jadi nturut bahagia. Tapi dalam hati tersirat rasa prihatin. Melihat
bagaimana keadaan rumah Aya dan keluarganya. Rumah yang berada diatas bukit,
jauh dari peradaban manusia (adanya peradaban hewan), jauh dari fasilitas umum,
lagi-lagi ndak ada sinyal 3. Dalam hati aku bersyukur, ternyata aku masih
beruntung bisa tinggal di Pati. Daripada Aya dan Yendhi, hehehe.
Ada sesuatu yang membuat aku kaget. Pasti
kawan semua tidak akan menyangka. Ternyata Aya punya makanan favorit yang tidak
akan kita temukan dibelahan bumi manapun. Aku harap kawan-kawan tidak kaget,
makanan itu adalah “sambel walang sangit”. Bisa bayangkan sendiri. Baunya aja
sudah menyengat gitu. Tapi oleh Aya itu bisa dijadikan sambel, dan katanya
rasanya enak. Enak darimana? Wah parah, ternyata temanku yang satu ini pemakan
serangga. Aku takutnya nanti serangga jadi punah, karena banyak dikonsumsi Aya,
hehe. Tapi manusia seperti Aya ini perlu dilestarikan. Karena keberadaannya
bisa mengurangi hama walang sangit yang kadang sangat meresahkan petani padi
(semoga orangnya baca), hahaha. Dasar manusia gunung, memilki kebiasaan yang
tak lazim.
Aya memilki 1 kakak perempuan yang
sekarang udah menikah dan punya 1 anak. Dan 1 lagi adek laki-laki, yang sedang
bekerja di Jakarta (maaf ay tak gosipin). Jadi dulu Bapaknya Aya tinggal di
Jakarta, saat Aya berumur sekitar 4-5 tahun Bapaknya pindah ke Wonogiri sama
Ibu nya pasti (nggak tahu ini bener ndak? He). Dan sekarang menetap di Karang
Tengah. Sebab semiskin-miskinnya orang di desa masih tetap bisa makan.
Wah sayang kita tidak bisa berlama-lama
di rumahnya Aya. Karena perjalanan ke Semarang bisa 6-7 jam. Sekitar jam 2 an
kita pamit pulang. Ya seperti biasa, ditutup dengan foto-foto. Aku senang bisa
ikut foto bersama kawan-kawan. Meskipun sebenarnya aku tidak suka di foto. Aku
senang bukan karena di foto, tapi karena aku bisa bersama kawan-kawan dalam
satu waktu yang membahagiakan. Dan perpisahan adalah hal yang membuatku hati
sedih. Selamat tinggal kawan, kita akan bertemu lagi.
Ow ya tidak lupa, aku ucapkan terima
kasih kepada Aya dan segenap keluarga. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam
menjalani kehidupan yang keras ini. Amin.
Oke saatnya untuk berkelana lagi.
Kali ini aku tidak langsung pulang ke Semarang. Aku pengen ke Jogja dulu
mencari sesuatu. Dan saat itu aku masih pake sarung. Jadi dari
Wonogiri-Jogja-Semarang aku pake sarung. Ya mending, daripada ndak sarungan,
hehe.
Cerita ini tidak boleh terlalu
panjang, nanti akan membosankan. Baiklah itu dulu kawan pengalaman ke Wonogiri
yang bisa aku bagikan. Sebenarnya pengen mengulas tentang sejarah berdirinya
Wonogiri dan Waduk Gajah Mungkur. Tapi ndak usah aja, bisa teman2 cari sendiri
di internet.
Sekain, salam dari “Magister
Pengelana”. Berjumpa lagi di lain kesempatan dengan cerita yang tak kalah seru
tentunya.