Pengalaman Wisata Ke Waduk Gajah Mungkur Wonogiri - Gudang Ilmu

Sunday, March 10, 2013

Pengalaman Wisata Ke Waduk Gajah Mungkur Wonogiri




            Selasa, 24 Desember 2012, Magister Pengelana kembali mengembara lagi. Kali ini Kota tujuannya adalah Wonogiri. Ya, Wonogiri, kota yang dulu dia pernah berjanji akan kesana. Dan Tuhan pun menjawabnya. Tujuan utamanya adalah menghadiri kawinan Etoser Ikhwan 08, sebut namanya nggak ya…??? He. Nggak usahlah paling udah pada tahu. Namun setelah itu mau main ke rumah Aya dan Yendhi. Yang kebetulan rumahnya di Wonogiri.
            Ayo kawan-kawan kita simak sama-sama ceritanya?
            Dalam menulis cerita yang paling susah adalah menulis kalimat pertama. Harus aku mulai dari mana ini…??? Okelah mungkin kita mulai dari alasan kenapa MP bisa berkelana ke Wonogiri? Ini memang diluar rencana, sebenarnya aku tidak berniat ke Wonogiri (maaf  karena alasan keuangan, ya biasa terlalu zuhud akhirnya keblabasen kere), he
.
            Ternyata Allah berkehendak lain. Mungkin ini juga berkat harapan dan do’a dari sahabat2 terbaikku dari Wonogiri. Yang awalnya Ahmad pengen berangkat sama Ms Fajri tenyata nggak jadi, karena Ms Fajri lagi ada banyak cucian, maklum “Loundry Boy”, begitu kata salah satu adek etoser, haha.
            Ya udah akhirnya Ahmad ngajak aku. Tidak ada salahnya juga ke Wonogiri pake motor, pikirku. Aku tidak mikir bensin, kan Ahmad yang ngajak, he. Tidak seperti rencana, yang katanya mau berangkat setengah lima, jadinya baru berangkat jam 7. Mana katanya disiplin, kerja keras? Kalau suruh jargon aja semangat, tapi semangatnya hanya di lidah saja tidak dimasukkan dalam hati. Mending cahyo nggak pernah jargon, tapi..tetep sama aja, hahaha. Tapi kali ini kita datang duluan. Biasa, telat karena nunggu yang akhwat. Kalau mandi dan macak mbok jangan lama-lama. Tidak perlu tampil memukau lah dihadapanku, biasa aja gitu, hehe. Geer men ki bocah, ^_^
            Wonogiri, Wonogiri, kau buat aku jadi pusing karena harus menempuh perjalanan yang begitu panjang dari jam 7 sampai jam 12. Syukurnya sampai sana masih kebagian makanan. Eh maaf salah yang bener kebagian foto-foto. Eh bukan-bukan kebagian acara resepsinya maksutnya, hehehe. Ya akhirnya hanya do’a yang terucap buat mas ku “Eko Triyanto dan Mbak Indri (jenenge singkat men), “Barakallah huma wabara alaikum/a wa jam’a bainakuma bil khoir.” Semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa rohmah, dan semoga bahagia dunia akhirat. Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin…10.000x
            Setelah makan kenyang, saatnya untuk pulang, horeeeeeeeeeee!! Eits, pulang? Pulang kemana? Masak perjalanannya 5 jam, acaranya nggak ada 1 jam, langsung pulang. Wah rugi banget. Ya pulang ke rumah yendhi lah yaw, hehehe. Absen dulu siapa yang ikut ke rumah yendhi. Ada aku sama ahmad yang naik motor, yang pake mobil ada Aya, Yendhi, Ijum (g pernah absen), Ipeh, sama beberapa makhluk asing yang tidak aku kenal (yang pasti teman-teman se-kandang Aya dan Yendhi), hehe. Dan tidak lupa sopir pribadi etos “Pak Didik”. Tapi sebelum itu kita mampir dulu ke Waduk buatan Gajah Mungkur. Semua rombongan dari Semarang mampir kesana. Tapi tak semua ikut ke Bulukerto (rumah Yendhi).
            Rumah yendhi ada di desa Domas, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri (bener ndak? Kayane bener). Berapa ratus kilometer dari kota aku kurang tahu. Yang pasti banyak kilometer. Perjalanan aja kurang lebih 2 jam-an, ditambah lagi jalannya yang kaya ular jalan, berkelak-kelok, naik turun. Ditambah hujan lagi, wah lengkap sudah cobaan kita (aku dan ahmad).
            Sekarang aku tahu, bagaimana penderitaan Yendhi selama ini. Sungguh tidak beruntung jadi dirimu yen, aku prihatin. Udah transport susah, jauh dari peradaban, tapi ada yang lebih parah lagi nggak ada sinyal 3, hihi. akhirnya harus “no sms no taujih”. Sedih sekali. Tapi nggak apa-apa kesedihan itu terganti saat nyampai di rumahnya si Jend (nama Jermannya Yendhi).
Akhirnya sampai juga. Tapi ada yang aneh, tempat parker mobilnya dimana Jend? Kok g ada? Wah katanya pengen punya mobil, tapi tempat parkirnya saja nggak ada. Saran cahyo Jend, buat kurungan dulu sebelum punya burung, hehehe. Cahyo do’akan deh, semoga punya mobil (mobil beneran, bukan mobil-mobilan). Aminnnnnn.  Tapi ada syaratnya, nanti beli mobilnya di Dealer cahyo ya!, haha
Rumahnya sederhana, sesederhana penghuninya. Rumahnya biasa-biasa saja (maaf bukan bermaksut), namun penghuninya luar biasa. Rumah yang ramah. Seramah orang-orang yang main. Eh maaf salah, seramah yang punya maksutnya. Ow ya, mobilnya mau ndak mau harus dimasukkan ke teras rumah Yendhi. Karena memang disitulah tempat yang tepat.
Samping kiri dan depan rumah ada pekarangan dengan beraneka macam pohon, ada duren, rambutan, jambu mete, jagung, dan rumput-rumputan, he. Seperti daerah gunung pada umumnya, hawa disana dingin, sedingin hatiku yang sedang merindu (halah alay). Sedingin air pancuran wudhu maksutnya. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup renggang, jadi terasa sepi (emang sebenarnya sepi og, op maneh pas bengi sepi nyenyet), he. Tapi aku yakin ikatan masyarakat disana lebih kuat daripada di kota. Terlihat dari sapaan setiap orang yang aku temui saat jalan-jalan pagi.
Samping kanan ada jalan raya yang menghubungkan kota Wonogiri dengan Jawa Timur. Pas di seberang jalan ada tempat yang membuat hati orang Islam menjadi tenang, lupa dengan masalah, lupa dengan utang-utang, apalagi kalau bukan masjid. Masjidnya cukup besar, tapi maaf jamaahnya tidak lebih dari 5 orang.
Seperti kita tahu kebanyakan masyarakat gunung kehidupan ekonominya menengah ke bawah. Terlihat dari bangunan rumahnya yang begitu sederhana. Namun se-miskin-miskin nya orang gunung mereka masih bisa tetap makan. Karena alam sudah menyediakan semuanya. Berbeda dengan orang kota, nggak punya uang ya gelandang, tau kalau nggak cari rongsokan, sungguh memilkukan.
Malam itu kita menginap di rumah si Jend. Karena emang rencananya seperti itu. Kita nyampai rumah aja sekitar jam setengah 6. Jadi mau nggak mau harus istirahat dulu. Insya Allah besoknya baru dilanjut.
Ada satu hal menarik disini. Ketika baru nyampai yang ibu-ibu langsung saja ke dapur. Aku mikir kenapa selalu begitu? Dan kita (kaum adam) cuma nunggu sambil ngobrol ndak jelas. Kenapa ndak sebaliknya? Sepertinya Tuhan memberikan wanita program otomatis kayak semacam naluri, “yang entah bagaimana itu membuat wanita dengan sendirinya tanpa disuruh tiba-tiba pergi ke dapur (ada semacam panggilan jiwa)”, dan pastinya dilengkapi juga software buat masak, hehe. Inilah salah satu rahasia yang menarik dari seorang wanita.
Tak lama kemudian, terdengar adzan maghrib dikumandangkan. Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya melaksanakan perintah Tuhan yang sangat special ini. Karena hanya perintah sholat yang diberikan tanpa wahyu, tapi Nabi bertemu langsung dengan Allah. Jadi, sholat ini sangat special. Dan kita diwajibkan untuk mendirikannya. Di dalam kewajiban pasti ada hak, dan di dalam setiap hak pasti ada kebutuhan. Nah karena itulah kita harus mendirikan sholat karena kita butuh, bukan hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Sholat adalah salah satu syariat islam, dan fungsi dari syariat islam sendiri adalah membawa manusia menuju kesempurnaan spiritual. Oleh sebab itu syariat menjadi penting, hakikat tanpa syariat adalah batal/tidak sah, namun syariat tanpa hakikat adalah sia-sia. Mengutip perkataan Imam Ghazali.
Singkat cerita kita sholat maghrib berjamaah di masjid. Tidak lupa di jamak dan qoshor, sebagai rukhsoh/keringanan dari Tuhan kepada hamba-Nya yang dalam perjalanan. Ketika balik lagi ke rumah si Jend, aku kaget di meja sudah terhidang makanan. Wah aku nggak nyangka kalau Allah akan mengabulkan do’a secepat ini. Barusan selesai sholat berdo’a, “Allahumma inna nas aluka barokatan fi rizqi” Ya Allah kami mohon kepadamu berilah rezki yang barokah.” Lalu rezki itu sudah terhidang di meja. Wa huwa ala kulli saiin qadir, Dia kuasa atas segala sesuatu. Itulah Allah.
Karena perut sudah kapar, dan makanan sudah terhidang apalagi tuan rumah sudah mempersilahkan, ya udah tunggu apa lagi langsung saja habisi, hehehe. Aku lupa berterima kasih kepada ibu-ibu yang sudah repot-repot masak buat kita. Makasih ya, ibu-ibu, masakannya enak entah karena lapar atau karena benar-benar enak.
Sebenarnya saat itu kepalaku terasa pusing. Sangat menyiksa sekali. Mau tidur ndak bisa tidur, mau ndak tidur pengen tidur. Akhirnya mau ndak mau aku harus menikmati sakit kepalaku. Bukankah harusnya seperti itu ketika kita sakit. Mensyukuri pemberian Tuhan meski sakit sekalipun. Kalau ini pusingnya karena aku kecapean naik motor Semarang-Wonogiri, bukan sebab sakit pusing yang harus diobati.
Malam semakin larut. Alam mulai menyanyikan lagu kepada sang Pencipta. Hewan berdzikir dengan caranya masing-masing. Hanya manusia yang tertidur lelap. Emang dasar manusia. Ya, aku pun akhirnya tertidur, hehe. Mungkin karena capek, tidurnya pulas banget. “Sabbaha lillahi ma fis samawati wal ardhi” semua bertasbih kepada Tuhan apa yang ada di langit dan di bumi.”
Kumandang adzan subuh yang membangunkanku dari tidur panjang. Rasanya seperti terlahir kembali dengan kekuatan dan semangat yang baru. Kali ini aku siap menjalani kehidupan. Termasuk sholat subuh. Meski dingin, dan masih agak terkantuk. Tapi aku harus memaksakan diri. Nafsul Lawwamah (nafsu yang berada antara kebaikan dan kejahatan) bisa saja menyeretku tidak sholat. Oleh karena itu terkadang kita harus memaksakan diri untuk tetap beribadah, bukannya tidak ikhlas. Tapi memang baru sebatas itu maqam kita.
Setelah semua selesai mandi, kecuali aku, hehe. Saatnya untuk sarapan pagi. Kali ini aku memilih untuk tidak puasa, emang sengaja karena kalau aku puasa rasanya tidak enak sama kawan-kawan. Lagi pula ini puasa sunah, jadi ndak harus selalu aku lakukan. Jika ada sebab-sebab tertentu boleh saja ditinggalkan atau diganti. Apalagi sunah wajib aja boleh.
Langsung saja beranjak ke rencana berikutnya. Karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 maka kita siap-siap untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Aya, tidak lupa pamitan kepada si empunya rumah, tapi tidak termasuk si Jend karena dia ikut main ke rumahnya si Aya. Setelah pamitan Bapak si Jend berkata, “Jangan bosen main kesini ya!” Wah insya Allah ndak bosen Pak. Suatu saat aku akan datang lagi kesana. Entah kapan? Mungkin kalau Yendhi menikah kali ya? Hehehe
Seperti biasa acara diakhiri dengan foto-foto. Padahal seharusnya kan dengan do’a penutup majles, bukan bernarcis-narcis ria. He (maaf bercanda). Semoga itu menjadi kenangan yang indah buat kita semua. Kenangan yang akan mengingatkan kita, akan masa-masa indah yang tak terulang lagi. Rasanya hati terasa bergetir saat menulis kalimat ini. “masa-masa indah yang tak terulang lagi.” T.T
Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Ya, tapi semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat tinggal Bapak Ibu dan adeknya Yendhi. Terimakasih atas sambutan dan hidangannya. Semoga menambah keberkahan. Amin.
Tak berlama-lama kita langsung cabut. Perjalanan dari rumah si Jend smapai ke rumah Aya hampir 3 jam. Buseeeeeeeeeeeet deh. Hampir sama dengan Semarang-Jogja. Oke ndak apa-apa. Im coming Karang Tengah. Jadi rumah Aya di desa Sampang, Kecamatan Karang Tengah, insya Allah masih Indonesia, hehehe. Kalau di peta kita tidak akan menemukan lokasi Karang Tengah, wah parah banget. Desanya terpencil sekali. Lebih dari rumahnya si Jend. Jalannya naik turun bukit, samping kanan kiri hutan jati. Dan tidak lama akan sampai Jawa Timur. Subhanallah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana Aya bisa hidup disana.
Setelah menempuh perjalanan yang penuh liku-liku. Kita sampai juga. sampai sana sekitar jam 12.00, saatnya untuk sholat dzuhur. Tapi sebelum sampai ke rumah Aya hujan lebat turun. Udah deh aku basah kuyub kehujanan. Sekalian mandi, tadi pagi aku kan belum mandi, he. Padahal bawa jas hujan, tapi ndak tak pakai. Males. Sebenarnya awalnya hujan gerimis, tapi aku tak peduli. Namun siapa sangka tiba-tiba hujannya berubah jadi lebat. Ya udah berakhir sudah.
Sampai di Karang Tengah rumahnya Aya, aku langsung ganti pake sarung. Karena hanya itu yang tak bawa. Yang basah biarlah basah, ntar juga kering sendiri. Pikirku seserhana.
Karang Tengah adalah pemekaran dari Kecamatan Batuwerno. Di Kec. Karang Teangah ada 5 desa, tapi lebih luas daripada Batuwerno yang ada 8 desa. Ya sih luas, tapi rumah dan warganya sedikit. Kalau ini ndak hanya transport yang susah, tapi nyari toko juga susah. Apalagi Indomaret tidak akan kita temukan. Meski berjalan banyak kilometer. Pokoknya gitulah, terlalu sulit menggambarkannya mending lihat saja sendiri kesana.
Ya seperti biasa, kalau kita mertamu pasti tuan rumah tidak sungkan-sungkan untuk menyediakan makanan buat kita. Tahu aja nih kalau perutku lapar. “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka mulyakanlah tamu.” Pertanyaannya kenapa harus hari akhir? Bukankah rukun iman ada 6? Silahkan direnungkan sendiri. Ada apa dengan Hari Akhir atau Hari Kemudian.
Rumah Aya (rumah ortunya maksutnya) tidak jauh beda dengan rumah Yendhi. Tapi sedikit lebih pedesaan. Sebagian besar dindingnya terbuat dari kayu. Lantainya pake semen kalau ndak salah. Tapi rasanya begitu damai, tenang, tentram, bisa membuat lupa akan tugas-tugas. Rumah yang bahagia, se-bahagia penghuninya. Kebahagian itu tersimpul dari senyuman yang menyambut kedatangan kita. Sungguh senyum kebahagiaan. Aku sendiri jadi nturut bahagia. Tapi dalam hati tersirat rasa prihatin. Melihat bagaimana keadaan rumah Aya dan keluarganya. Rumah yang berada diatas bukit, jauh dari peradaban manusia (adanya peradaban hewan), jauh dari fasilitas umum, lagi-lagi ndak ada sinyal 3. Dalam hati aku bersyukur, ternyata aku masih beruntung bisa tinggal di Pati. Daripada Aya dan Yendhi, hehehe.
Ada sesuatu yang membuat aku kaget. Pasti kawan semua tidak akan menyangka. Ternyata Aya punya makanan favorit yang tidak akan kita temukan dibelahan bumi manapun. Aku harap kawan-kawan tidak kaget, makanan itu adalah “sambel walang sangit”. Bisa bayangkan sendiri. Baunya aja sudah menyengat gitu. Tapi oleh Aya itu bisa dijadikan sambel, dan katanya rasanya enak. Enak darimana? Wah parah, ternyata temanku yang satu ini pemakan serangga. Aku takutnya nanti serangga jadi punah, karena banyak dikonsumsi Aya, hehe. Tapi manusia seperti Aya ini perlu dilestarikan. Karena keberadaannya bisa mengurangi hama walang sangit yang kadang sangat meresahkan petani padi (semoga orangnya baca), hahaha. Dasar manusia gunung, memilki kebiasaan yang tak lazim.
Aya memilki 1 kakak perempuan yang sekarang udah menikah dan punya 1 anak. Dan 1 lagi adek laki-laki, yang sedang bekerja di Jakarta (maaf ay tak gosipin). Jadi dulu Bapaknya Aya tinggal di Jakarta, saat Aya berumur sekitar 4-5 tahun Bapaknya pindah ke Wonogiri sama Ibu nya pasti (nggak tahu ini bener ndak? He). Dan sekarang menetap di Karang Tengah. Sebab semiskin-miskinnya orang di desa masih tetap bisa makan.
Wah sayang kita tidak bisa berlama-lama di rumahnya Aya. Karena perjalanan ke Semarang bisa 6-7 jam. Sekitar jam 2 an kita pamit pulang. Ya seperti biasa, ditutup dengan foto-foto. Aku senang bisa ikut foto bersama kawan-kawan. Meskipun sebenarnya aku tidak suka di foto. Aku senang bukan karena di foto, tapi karena aku bisa bersama kawan-kawan dalam satu waktu yang membahagiakan. Dan perpisahan adalah hal yang membuatku hati sedih. Selamat tinggal kawan, kita akan bertemu lagi.
Ow ya tidak lupa, aku ucapkan terima kasih kepada Aya dan segenap keluarga. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan yang keras ini. Amin.
Oke saatnya untuk berkelana lagi. Kali ini aku tidak langsung pulang ke Semarang. Aku pengen ke Jogja dulu mencari sesuatu. Dan saat itu aku masih pake sarung. Jadi dari Wonogiri-Jogja-Semarang aku pake sarung. Ya mending, daripada ndak sarungan, hehe.
Cerita ini tidak boleh terlalu panjang, nanti akan membosankan. Baiklah itu dulu kawan pengalaman ke Wonogiri yang bisa aku bagikan. Sebenarnya pengen mengulas tentang sejarah berdirinya Wonogiri dan Waduk Gajah Mungkur. Tapi ndak usah aja, bisa teman2 cari sendiri di internet.
Sekain, salam dari “Magister Pengelana”. Berjumpa lagi di lain kesempatan dengan cerita yang tak kalah seru tentunya.


Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda